Dana Otonomi Khusus Aceh Dinilai Tak Punya Masterplan yang Jelas
Jumat, 13 Juli 2018 11:47 <p style="text-align: justify; "><span style="font-weight: bold;">BANDA ACEH</span> – Wilayah Aceh merupakan salah satu daerah menyandang status istimewa. Provinsi paling ujung barat Indonesia itu mengantongi dana otonomi khusus (otsus) berlimpah. Tapi sayangnya, daerah berjuluk Serambi Mekah tersebut kini dirundung masalah korupsi.
</p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya praktik suap terkait proyek-proyek pembangunan di Aceh yang dibiayai dana otsus. Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf yang baru saja dijebloskan ke penjara, diduga ikut terlibat. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) –lembaga perkumpulan aktivis antikorupsi– melihat pengelolaan Dana Otsus Aceh selama ini tidak memiliki masterplan (rencana induk) yang jelas. Meski sejak 2008 hingga 2018 Aceh telah menerima dana Rp 56,6 triliun, namun, anggaran tersebut belum sepenuhnya menyentuh kesejahteraan rakyat. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">MaTA pernah menganalisis sistem pengelolaan otsus Aceh. Hasilnya, perencanaan anggaran otsus tidak berjalan sesuai kebutuhan atau sesuai prosedur. Melainkan, lebih kepada keinginan para pejabat di Aceh itu sendiri. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">“Keinginan siapa? Ya, mereka para elite, baik politisi maupun elite kekuasaan, termasuk para pemodal, dalam 'tanda kutip'. Sehingga bisa dilihat pembangunan otsus itu hampir rata-rata di kabupaten atau kota sudah dibangun tapi tidak difungsikan. Karena berlandaskan keinginan, bukan kebutuhan,” kata Alfian, Koordinator MaTA, Jumat (13/7/2018). </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Alfian mencontohkan halnya di pusat-pusat kota. Dia menyebut, bangunan yang sudah dibangun tidak difungsikan, tetapi malah dijarah. Atau contoh lain, seperti pagar kantor bupati yang juga ikut dibangun menggunakan dana otsus. Semestinya, hal tersebut tidak boleh dilakukan. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">“Jadi karena tidak punya masterplan, sehingga ditujukan rata-rata pembangunan fisik. Kenapa pembangunan fisik lebih dominan, padahal fokus dana otsus itu harus merata. Karena persoalannya bicara keuntungan ekonomi dari keinginan elite, bukan dari kebutuhan masyarakat yang sebenarnya,” kata Alfian. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Sehingga, Alfian menganggap, pemerintah belum memiliki impian jelas tentang bagaimana membangun Aceh di masa mendatang, dengan dana-dana otsus melimpah yang dimiliki. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">“Artinya sejak 2008 hingga 2027 nanti Aceh mimpinya bagaimana dengan uang sebesar itu. Sampai saat ini tidak menjadi daya ungkit, padahal salah satu mandat dari otsus itu sendiri adalah percepatan pemberantasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, pembangunan infrastruktur kesehatan, pendidikan, termasuk sosial dan budaya,” tuturnya. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Di sisi lain, peluang terjadinya tindak pidana korupsi di Aceh, juga akibat lemahnya peran legislatif. Semestinya, kata Alfian, mereka harus kembali pada fungsinya sebagai lembaga pengawasan. </span></p><p style="text-align: justify; ">Sehingga, Alfian berharap, penangkapan dan penggeledahan yang berlangsung sejak tiga hari terakhir ini, bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk membangun sistem berintegritas.
</p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">“Ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) penting sekali, dari tingkat political will Plt (pelaksana tugas) sekarang dalam membangun Aceh tidak korupsi,” katanya. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">“Mereka harus duduk bermusyawarah. Jika dengan peristiwa ini pemerintah Aceh tidak mau berubah, saya pikir ini hanya akan berdampak buruk terhadap masa depan Aceh. Bahkan tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah saya pikir juga tidak akan ada lagi,” imbuh dia. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Di kasus ini, Irwandi diduga menerima suap sebesar Rp 500 juta dari Bupati Bener Meriah, Ahmadi. Penyerahan uang diduga dilakukan melalui dua perantara bernama Syaiful Bahri dan Hendri Yuzal. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Ahmadi diduga memberikan uang itu sebagai ijon proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) Tahun Anggaran 2018. </span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Dalam OTT Selasa (4/7/2018) malam itu, KPK mengamankan sekitar 9 orang, termasuk Ahmadi dan Irwandi. KPK juga menyita sejumlah bukti berupa uang senilai Rp 50 juta, bukti transaksi perbankan, serta catatan proyek. </span></p><p style="text-align: justify; ">
</p><p style="text-align: justify; "><br></p>