The Guardian Bongkar Permainan Buzzer Ahok Selama Pilkada

Rabu, 25 Juli 2018 18:45

<p style="text-align: justify; "><span style="font-weight: bold;">JAKARTA</span> – Keberadaan pasukan buzzer di dunia maya selama kontestasi politik di Indonesia menjadi perhatian media Inggris, The Guardian. Media ini pun lantas menurunkan tulisan menyoroti keberdaan tim Buzzer yang menjadi bagian dari politik yang sedang berkembang di Indonesia, membantu memecah belah agama dan ras.
</p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Dalam tulisannya, The Guardian mewawancarai seorang anggota tim buzzer dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Sumber yang mengaku bernama Alex itu mengatakan ia adalah salah satu dari 20 orang dalam pasukan maya rahasia yang menyebarkan pesan dari akun media palsu untuk mendukung Ahok.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">"Mereka mengatakan kepada kami bahwa Anda harus memiliki lima akun Facebook, lima akun Twitter dan satu Instagram," katanya seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (24/7/2018).&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">"Dan mereka mengatakan kepada kami untuk merahasiakannya. Mereka mengatakan itu adalah 'waktunya berperang' dan kami harus menjaga medan perang dan tidak memberi tahu siapa pun tentang kami bekerja," imbuhnya.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">"Ketika Anda sedang berperang, Anda menggunakan apa pun yang tersedian untuk menyerang lawan. Tetapi kadang-kadang saya merasa jijik dengan diri saya sendiri," ucapnya.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Alex mengatakan timnya dipekerjakan untuk melawan banjir sentimen anti Ahok, termasuk hashtag yang mengkritik kandidat oposisi, atau menertawakan koalisi kelompok Islam.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Tim Alex, yang terdiri dari pendukung Ahok dan mahasiswa, memperoleh bayaran Rp4 juta. Mereka diduga bekerja di sebuah rumah mewah kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Masing-masing dari mereka diberitahu untuk mengirim 60 hingga 120 kali cuitan sehari di akun Twitter palsu dan beberapa kali postingan setiap hari di Facebook.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Alex mengatakan timnya terdiri dari 20 orang, masing-masing dengan 11 akun media sosial, akan menghasilkan hingga 2.400 postingan di Twitter sehari.&nbsp;&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Operasi ini dikoordinasikan melalui grup WhatsApp bernama Special Force, atau Pasukan Khusus, yang Alex perkirakan terdiri dari sekitar 80 anggota. Tim itu memberi makan konten dan hashtag harian untuk diposting.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">"Mereka tidak ingin akun tersebut menjadi anonim sehingga mereka meminta kami untuk mengambil foto untuk profil tersebut, jadi kami mengambilnya dari Google, atau terkadang kami menggunakan gambar dari teman-teman kami, atau foto dari grup Facebook atau WhatsApp," jelas Alex.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">"Mereka juga mendorong kami untuk menggunakan akun wanita cantik untuk menarik perhatian pada materi; banyak akun yang seperti itu," sambungnya.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">Di Facebook, mereka bahkan membuat beberapa akun menggunakan foto profil aktris asing yang terkenal, yang entah bagaimana tampak seperti penggemar Ahok. Tim siber itu diduga mengatakan "aman" untuk memposting dari markas mereka di Menteng, di mana mereka beroperasi dari beberapa kamar.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; ">
<span style="background-color: transparent;">"Ruang pertama untuk konten positif, di mana mereka menyebarkan konten positif tentang Ahok. Ruang kedua adalah untuk konten negatif, menyebarkan konten negatif dan pidato kebencian tentang oposisi," rinci Alex. Alex sendiri memilih untuk berada di kamar positif.</span></p><p style="text-align: justify; "><span style="background-color: transparent;">Banyak dari akun tersebut hanya memiliki beberapa ratus pengikut, tetapi dengan mendapatkan tren hashtag mereka, setiap hari, mereka secara artifisial meningkatkan visibilitas di platform. Dengan memanipulasi Twitter, mereka memengaruhi pengguna dan media Indonesia, yang sering mengacu pada hashtag yang sedang tren sebagai barometer suasana nasional.
</span></p><p style="text-align: justify; "><span style="background-color: transparent;">
</span><span style="background-color: transparent;">Mengingat bahwa Ahok kalah dalam pemilihan, dan berakhir di penjara, Alex mengatakan dia tidak dapat memastikan seberapa efektif timnya.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; "><span style="background-color: transparent;">
</span><span style="background-color: transparent;">Ulin Yusron, juru bicara tim kampanye Ahok menolak mengomentari tuduhan tertentu tetapi mengatakan kampanye itu sangat sulit.&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; "><span style="background-color: transparent;">
</span><span style="background-color: transparent;">"Penggunaan fitnah, kebencian dan tipuan (berita palsu) sangat besar," katanya kepada Guardian.&nbsp;&nbsp;</span></p><p style="text-align: justify; "><span style="background-color: transparent;">
</span><span style="background-color: transparent;">“Secara alami, tim membentengi diri dengan pasukan pendukung, termasuk di media sosial. Itu bukan sesuatu yang baru dalam politik,” imbuhnya.</span></p>